Petungkriyono, Rumah para Capung Endemik Jawa: Catatan Harian Pelatihan Riset Capung Bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS) Hari 2

Jumat, 26 November 2021 


Foto bersama kelompok 1 dan 3 sebelum berangkat ke lapangan

Pagi ini, kami sudah berbaris rapi di depan BLK dengan pakaian lapangan dan perlengkapan sampling capung: masing-masing kelompok dibekali dengan 3 buah jaring, 4 buku identifikasi capung, sebuah box plastik mirip kotak makan, dan beberapa lembar kertas papilot –kertas ini yang akan kami gunakan untuk menyimpan tiap-tiap individu capung.

Kami berjalan dari BLK menuju ke arah rumah Mas Tariyo –a.k.a Taryo a.k.a Tarzo, panitia lokal yang banyak membantu kesuksesan acara ini, kemudian membelok mengikuti aliran parit kecil yang ternyata berasal dari aliran sungai yang cukup deras. Kami melewati persawahan, juga deretan tanaman jagung dan ketela.  

“Itu Orthretum!” sahut seseorang.

Orthretum pruinosum

Orang-orang di kelompokku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk, dan dalam sekali ayun, Roni menangkap capung yang dimaksud. Capung Orthretum yang dimaksud sedang bertengger di atas batang ketela, di tepi aliran air yang deras.

“Bagi tugas ya, yang bawa jaring nangkep, yang bawa kamera nyari sambil motret, terus--”

“Aku nyatet,” kataku. Berinisiatif, karena tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.

“Ya, oke.”

Dalam pengamatan capung, pencatatan habitat dan juga ketinggian sangat penting dilakukan. Pasalnya, beda habitat dan beda ketinggian akan berpengaruh pada keragaman jenis capung yang kami dapatkan. Begitu pula kondisi kanopi, apakah terbuka, ataukah tertutup. Beberapa capung bisa ditemukan di tempat terbuka seperti persawahan yang sedang kami lewati, namun  kabarnya, ada juga yang menyukai tempat-tempat teduh.

Sesekali dalam perjalanan, Mas Agal –pemandu sekaligus ketua acara ini, memberikan penjelasan menarik tentang morfologi maupun tingkah laku capung yang kami temukan. Seperti saat kami sedang berhenti di aliran air yang agak tenang, lalu aku melihat sepasang capung yang terbang bersamaan.

Vestalis luctuosa

“Apakah itu tingkah laku mereka akan kawin?”

Katanya, bisa jadi. Biasanya capung jantan akan menandai teritorinya, agar kemudian siap didatangi oleh capung betina dan siap kawin di wilayah kekuasaan si capung jantan. Hmmm menarik, analoginya seperti pejantan yang punya rumah duluan sebelum kawin (eh?).

“Wah, kok bagus! Baru ini ngelihat capung warna ungu kerlip-kerlip!” seruku.

Vestalis luctuosa,” kata Alfi. “Kayaknya sih.”

“Ha?” Aku melongo, mengagumi teman-temanku yang baru melihat sekilas tapi langsung bisa tahu jenis apa.

“Coba deh kamu perhatikan, sayap bagian dalamnya berwarna hijau,” kata Mas Agal.

Aku agak-agak tidak percaya, sampai kemudian Mas Agal membuat gerakan pelan yang membuat salah satu capung itu terbang dan bagian dalam sayapnya yang berwarna hijau itu terlihat jelas.

“Wah iya bener!” seruku lagi. “Maklum ya, belum pernah lihat yang kayak gitu soalnya.”

Tujuan terakhir kami adalah Curug Bajing, sebuah tempat wisata air terjun dimana kami akan me-release atau melepaskan capung-capung yang sudah kami tangkap, nanti usai melakukan identifikasi. Maka kami melingkar di sebuah gazebo dan mendiskusikan enam belas individu capung yang sudah kami dapatkan. Aku mendengarkan teman-temanku berdiskusi tentang jenis capung tersebut. Mereka mencocokkan specimen capung dengan buku identifikasi. Aku sendiri berusaha berkontribusi dengan membantu mendeskripsikan morfologi mulai dari warna mata, warna thorax, warna abdomen, genital, penciri khusus, warna sayap dan warna pterostigma.

Setengah hari di lapangan membuatku memahami bahwa ternyata perbedaan capung jantan dan betina bisa dilihat oleh orang awam sepertiku. Dengan melihat apakah ada tonjolan di bagian bawah thorax dan mengamati anal appendagenya, hari ini aku puas sekali karena aku sudah bisa membedakan capung jantan dan betina. Menurutku membedakan genital ini penting, karena identifikasi capung jantan akan ‘lebih mudah’ dibandingkan identifikasi capung betina. Aku lupa apa alasannya, tapi sepertinya karena capung betina rata-rata memiliki warna yang serupa.

Kami sempat menemukan capung di tempat yang berbeda dengan lokasi pengamatan seharusnya (tempat terbuka dengan aliran air yang deras). Sebelum menjumpai curug bajing, kami melihat kolam kecil dengan tumbuhan teratai di atasnya. Beberapa tumbuhan air dan tumbuhan bawah ada di sekeliling kolam, dan aliran air disana sangat pelan. Disitulah Mas Agal, Roni, dan Jajo excited sekali mendapatkan capung yang tidak kami dapatkan di perjalanan sebelumnya. Menurutku semua capung menarik, karena baru kali ini aku menemukan capung setiap beberapa langkah. Tapi sepertinya capung di tempat ini bisa menjadi temuan paling oke dalam pengamatan kami hari ini.

Drepanostica sundana

Materi 2: Kawasan Hutan Petungkriyono

Ada hal yang menarik melalui materi ini, sebenarnya. Ketika aku menanyakan potensi OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang ada di hutan produksi KPH Pekalongan. Pemateri mengatakan bahwa kutu putih –kutu lilin menjadi masalah utama ketika mereka mengupayakan pertanaman pinus. Hama itu memang bukan barang baru, tapi menariknya, beliau mengatakan penanganan kutu lilin dengan campuran urin kambing dan urin kelinci menjadi sangat efektif untuk pinus-pinus yang terserang di persemaian. Akan tetapi jika sudah terlanjur menyebar, maka tidak ada cara lain selain dimusnahkan. Selain itu, pemateri juga memberikan informasi bahwa keragaman untuk bidang serangga belum pernah diteliti di area Petungkriyono ini, sehingga peluang riset menjadi sangat luas. 

Sebenarnya yang paling menarik buatku adalah pemilihan lokasi kawasan hutan lindung Petungkriyono yang digunakan untuk riset capung ini. Kabarnya, saking terjaganya sungai-sungai di hutan ini maka keragaman dan kelimpahan capung pun sangat tinggi. Di kawasan ini pula bisa ditemui capung-capung endemik Jawa --yang tentu saja tidak bisa ditemukan di lokasi lain. 

Materi 3: GIS

Aku tidak terlalu paham GIS, tapi materi ini memang penting khususnya untuk pemilihan lokasi sampling. Aku pernah mendapatkan kuliah ini, jadi setidaknya aku punya gambaran sedikit-sedikit. Namun sayangnya pemateri tidak memberikan prolog bagaimana mengaitkan fungsi GIS ini untuk riset khusus capung.

Pentas Wayang Serangga dan Kesenian Daerah

Pentas Wayang Serangga

Ini adalah bagian yang paling aku tunggu dari rangkaian acara Rimba Rumah Bersama. Menurutku, pendekatan yang dilakukan IDS untuk mengenalkan capung –juga Swaraowa untuk mengenalkan Owa pada masyarakat, dengan menggunakan pendekatan budaya adalah cara yang sangat bagus. Aku bahkan tidak menyangka acara wayang ini dihadiri begitu banyak orang di Bumi Perkemahan Karang Srity. Dengan Bahasa Jawa yang ternyata bisa aku pahami dengan baik, dalang menceritakan tentang hutan yang rusak dan peran-peran para serangga seperti capung dan lebah, hingga serangga yang kelihatannya merugikan seperti rayap (mereka menyebutnya razap) dan lalat yang sebenarnya juga memiliki peran ekologis masing-masing.

 

 

Arina Damayanti

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment