Minggu, 4 Februari 2024 20.49 WIB, Yogyakarta Judul tersebut adalah salah satu hal penting dari sekian banyak yang aku dapatkan setelah perj...

Sabtu-Minggu, 27-28 November 2021 Mencari capung di Telaga Sigebiyar (Foto oleh panitia) Hari ini kami melakukan sampling capung lagi, di ...

Jumat, 26 November 2021 Foto bersama kelompok 1 dan 3 sebelum berangkat ke lapangan Pagi ini, kami sudah berbaris rapi di depan BLK deng...

Kamis, 25 November 2021 Kereta Joglosemar yang membawa kami bertiga dari Yogyakarta, tiba di Stasiun Pekalongan pukul 13.00 WIB tepat. Ter...
About Me
Popular Posts
ADs
Labels Cloud
Labels List Numbered
Video of the day
Default Variables
Author Info
Link List
Sample Text

Vix no volumus ocurreret maiestatis, quaeque alienum eum te, semper principes deseru
Text Widget
Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate another link velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur.
Profil

- Arina Damayanti
- Salatiga - Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
Followers
Terus Belajar
Minggu, 4 Februari 2024
20.49 WIB, Yogyakarta
Judul tersebut adalah salah satu hal penting dari sekian banyak yang aku dapatkan setelah perjalanan dua pekan lalu. Mungkin kamu berpikir, harusnya nggak perlu pergi-pergi juga "terus belajar" adalah slogan yang mesti kita terapkan, kan? Tapi sayangnya itu nggak berlaku buatku.
Sebenarnya, awalnya dari delapan orang yang duduk menanti jamuan makan malam di hari ulang tahunku yang ke-30 kemarin. Salah seorang perempuan yang baru saja bergabung dengan tim kami berkata, "Saya berdoa semoga mbak Arin terus bersemangat untuk belajar, seperti semangatnya yang sudah-sudah--" kira-kira begitu. Sebelumnya, seorang perempuan lain juga berkata, "Aku tuh salut sama kamu mbak, kok kamu bisa sih kan kerjaan udah ada, tapi kuliahnya walaupun enggak menunjang pekerjaan, tetap kamu lakukan dengan serius." Dan kalimat-kalimat lain yang sebenarnya kurasa itu adalah sebuah pujian. Namun, berkali-kali mendengar pun aku mengabaikannya. Lalu kudengar lagi pujian itu di jamuan makan malam, kali ini berupa doa.
Belum cukup dengan hal-hal tersebut, terbanglah aku ke negara seberang. Menyaksikan seorang kawan yang perubahannya membuatku berpikir ratusan kali. Harusnya aku.. Harusnya aku.. Aku kan lebih dulu mulai.. Aku kok enggak sebaik itu ya.. Beberapa malam yang melelahkan karena dialog diriku dengan isi kepalaku sendiri. Gara-gara itu, suaranya makin nyaring. Tangisku makin keras. Aku sudah buang-buang waktu, setelah kutengok lagi ke belakang, aku baru menyadari banyak hal yang aku urus, namun sejatinya bukan untukku. Aku mencintai pekerjaanku, tapi aku tidak belajar di dalamnya. Aku mencintai apa yang aku pelajari, tapi aku gagal mengaktualisasikannya. Aku bekerja dengan banyak orang, namun ternyata aku hanya memenuhi kebutuhan mereka, bukan kebutuhanku. Aku telah mencoret banyak target, sekali lagi, bukan untukku.
Sendirian dan kedinginan di Changi, membuatku semakin tidak bisa tidur. Lalu dalam penerbangan SIN ke YIA, aku memutuskan untuk membuat perbaikan-perbaikan yang benar-benar aku butuhkan tahun ini.
Merawat Diri
Januari 25, 2024.
Sebelum memulai tulisan kembali, aku ingin menertawakan -sekaligus mengagumi diri sendiri. Hey! Blog ini sudah ada sejak tahun 2008, dan itu artinya aku sudah memiliki halaman ini selama 16 tahun. Tapi lihatlah isinya, kosong saja. Beberapa tahun lalu, aku memutuskan untuk menghapus cerita-cerita yang aku tulis. Lebih karena malu, tepatnya. Sebenarnya tidak apa-apa ya kalau dibiarkan saja, toh begitulah perjalanan kita. Sebentar-sebentar berhenti pada apa yang kita kita sudah paling sempurna, tetapi ternyata bukan yang baik bagi kita.
Sekarang jam berapa eh? Oh, 22.24 WIB. Aku cuma mau bilang, sebelum berangkat ke Malaysia, sebenarnya ada banyak sekali tanda-tanda dari semesta yang membingungkan. Tapi toh aku berangkat juga, ke kota yang bahkan aku tidak pernah dengar namanya sebelumnya: Kuching. Nanti kapan-kapan aku cerita, apa yang aku dapat dari sana. Tapi yang jelas, sepulang dari sana, aku semakin lebih banyak bertanya-tanya. Seperti yang orang-orang bilang: "Kita nggak mungkin bertemu seseorang kalau tidak ada maksudnya, kita nggak mungkin ada di suatu tempat tanpa ada tujuannya" --bahkan di mata kuliah silvikultur, Dr. Priyono bilang bahwa 'Everythings connected, just like a dot.' Dan aku percaya. Tidak seperti pulang dari Jepang dulu sih, aku benar-benar blank dan masih tidak paham kenapa Tuhan memberikanku kesempatan untuk ke Jepang. Beda dengan Malaysia ini --hm, mungkin, meskipun super mendadak, aku mendapat pelajaran karena melakukan segala sesuatunya dengan sadar. Iya?
Eh, nanti sajalah aku ceritakan tentang Malaysia. Yang jelas, sekarang aku sedang mengurai tanda-tanda. Pertama yang kulakukan saat ini adalah merawat diri. Aku benar-benar kehilangan diri entah sudah berapa tahun lamanya. Meskipun bukan sastrawan, tapi aku perlu kembali membaca dan menulis. Aku percaya kemampuan literasiku masih cukup bagus untuk diasah, karena dengan membaca dan menulislah aku bisa berpikir dengan jernih, dan lagi-lagi, merawat diri sendiri. Lain itu? Banyak! Aku punya banyak pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan. Sudah kutulis di to-do list pesan WhatsApp. Akan kutuntaskan dengan segera, sebaik mungkin.
Dealing with Failure
My time is almost over. By this month, I suppose to finish all my research and back to Indonesia. But I am still doing my experiment. It's difficult, I realize. Since the first time I accept this research topic, I am sure I can do it well because I am a good learner and tough enough. But confidence is not enough for research. There are so many unpredictable situations that make me so confused and try to think positively. It is about the animal situation. I can't handle it when our population suddenly decreases in one to two months. I wasted my time and try to identify some of my faunas in that void. Yeah, it is passed, and now I am still trying to find the best situation and result. I don't want to go back without any results from this research. Meanwhile, in Indonesia, my research is also not finished yet. I mean for the thesis writing, journal writing, and the result presentation that will be held in early October. I have to finish it soon.
But by the way, this situation also makes me think clearly. That not every researcher should succeed in every experiment. Sometimes we have to face failure and keep trying again and again. Of course, it will cost time and money, and so much energy. But that's the research was going. A significant or not significant result is okay in any publications. So, now I am trying to accept every failure and mistakes that I made, and keep improving myself, not only for myself or my future, but I also think that this research is important to all people included.
Hari Terakhir di Petungkriyono: Catatan Harian Pelatihan Riset Capung Bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS)
Sabtu-Minggu, 27-28 November 2021
![]() |
Mencari capung di Telaga Sigebiyar (Foto oleh panitia) |
Hari ini kami melakukan sampling capung lagi, di lokasi yang berbeda dengan kemarin, secara ketinggian. Kelompokku mendapatkan jatah VIP, yaitu lokasi di Telaga Mangunan, dengan ketinggian sekitar 1600an mdpl. Fyi, BLK tempat kami menginap ada di ketinggian 600 mdpl. Sementara itu, dua kelompok yang lainnya mendapatkan jatah ke lokasi yang lebih rendah dari BLK, yaitu menyusur hutan dan sungai.
Dengan mengendarai mobil panther merah yang lagi-lagi dibawa oleh Mas Arif, kami tiba di Telaga Mangunan (tertulis Telaga Sigebiyar) sekitar pukul delapan. Kami diberi waktu sarapan dengan nasi bungkus yang telah dibekalkan, kemudian melakukan pengamatan selama satu setengah jam. Pukul 10, kami akan berpindah tempat ke rawa-rawa yang sebelumnya sudah kami lewati.
![]() |
Ischnura aurora |
Kami melihat banyak sekali capung jarum. Dalam beberapa langkah saja, sudah lima capung kami temui. Namun tidak semuanya kami ambil, karena sepertinya mereka memiliki kesamaan jenis. Setengah perjalanan, kami baru menemukan capung sejati (Anisoptera) yang terbang demikian cepat seperti pesawat tempur. Beruntung, Roni dan Jajo sigap sekali menceburkan kaki mereka ke rawa-rawa sehingga kami mendapatkan specimen tersebut. Aku berdoa-doa supaya mendapatkan naiad disini –karena sebelumnya aku belum pernah melihat wujud aslinya.
Selang beberapa menit, aku menunduk ke rerumputan bawah untuk melihat-lihat serangga yang kebetulan hinggap disana. Sampai mataku menatap serangga yang kukira kepik coklat, namun ternyata adalah naiad dengan bentuk yang sama sekali berbeda dengan yang kami temukan sebelumnya.
![]() |
Eksuvia (kemungkinan) dari Famili Corduliidae |
![]() |
Eksuvia (kemungkinan) dari Famili Aeshnidae |
Entah beruntung atau tidak, tapi usai pengamatan di telaga, hujan turun sangat deras sehingga pengamatan di rawa kami urungkan. Kami lantas bergegas mengidentifikasi capung-capung yang kami temukan –keseluruhan hanya 3 spesies saja, namun yang menarik adalah kami menemukan 2 naiad, dan 1 capung majemuk yang cacat. Kata Mas Agal, metamorfosisnya tidak sempurna sehingga sayapnya menekuk dan tidak bisa terbang. Hal itu mungkin disebabkan oleh adanya parasit atau jamur yang menyerang capung sebelum dewasa.
![]() |
Metamorfosis tidak sempurna Procordulia artemis |
Materi:
Fotografi Capung
Materi ini disampaikan dengan apik oleh Pak Sigit, founder IDS yang sangat passionate dengan capung sejak tahun 2009. Memang ada kekhawatiran –seperti yang kutanyakan, tentang bagaimana membedakan foto ilmiah dengan foto manipulatif. Btw, aku baru menyadari bahwa foto-foto manipulatif itu cukup berbahaya jika kita tidak tahu tingkah laku serangga sebenarnya. Beberapa tips untuk memotret capung juga disampaikan agar sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan memudahkan proses identifikasi.
![]() |
Pak Sigit, founder IDS |
Materi:
Identifikasi Capung Lanjutan
Materi ini kembali disampaikan oleh mas Apen, tentang bagaimana upaya para peneliti capung untuk memberikan nama-nama lokal pada capung yang ditemui. Aku tidak pernah kepikiran sebelumnya, tapi menarik juga. Seperti misalnya spesies capung Ictinogomphus acutus diberi usulan nama lokal “Gadatombak gelambir-lebar” dan sebagainya.
Materi:
Penelitian dan Literasi Capung
Seharusnya, aku mendapatkan materi seperti ini sebelum memulai penelitian S1! Ya kan? Mbak Amel benar sekali, bahwa riset harus dimulai dengan cara “meriset tren riset” dari jurnal-jurnal terkait. Hal ini perlu sekali dilakukan, tentu saja agar tema riset yang kita usung ada nilai kebaruannya, juga lebih mudah dipublikasi ._. ya kan.
Materi:
Sharing Hasil
Oke, sampailah kita pada sharing hasil pengamatan selama 2 hari ini. Ada beberapa aspek yang harus dipresentasikan yaitu deskripsi morfologi, kaitan capung dengan habitat yang diamati, dan 'key species' --tapi Mbak Amel lebih suka menyebutnya sebagai 'flag species' pada masing-masing habitat. Dari keseluruhan capung yang telah ditemukan, salah satu capung yang paling menarik adalah Drepanostica sundana yang tidak ditemui di tempat lain.
![]() |
Kelompok terbaik yeyeye :) |
![]() |
Hadiah dari panitia (plus Ndoro pisang-nya Mas Adin yang keburu habis sebelum kefoto) |
Petungkriyono, Rumah para Capung Endemik Jawa: Catatan Harian Pelatihan Riset Capung Bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS) Hari 2
Jumat, 26 November 2021
![]() |
Foto bersama kelompok 1 dan 3 sebelum berangkat ke lapangan |
Pagi ini, kami sudah berbaris rapi di depan BLK dengan pakaian lapangan dan perlengkapan sampling capung: masing-masing kelompok dibekali dengan 3 buah jaring, 4 buku identifikasi capung, sebuah box plastik mirip kotak makan, dan beberapa lembar kertas papilot –kertas ini yang akan kami gunakan untuk menyimpan tiap-tiap individu capung.
Kami berjalan dari BLK menuju ke arah rumah Mas Tariyo –a.k.a Taryo a.k.a Tarzo, panitia lokal yang banyak membantu kesuksesan acara ini, kemudian membelok mengikuti aliran parit kecil yang ternyata berasal dari aliran sungai yang cukup deras. Kami melewati persawahan, juga deretan tanaman jagung dan ketela.
“Itu
Orthretum!” sahut seseorang.
![]() |
Orthretum pruinosum |
Orang-orang di kelompokku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk, dan dalam sekali ayun, Roni menangkap capung yang dimaksud. Capung Orthretum yang dimaksud sedang bertengger di atas batang ketela, di tepi aliran air yang deras.
“Bagi
tugas ya, yang bawa jaring nangkep, yang bawa kamera nyari sambil motret, terus--”
“Aku
nyatet,” kataku. Berinisiatif, karena tidak tahu lagi apa yang harus aku
lakukan.
“Ya, oke.”
Dalam pengamatan capung, pencatatan habitat dan juga ketinggian sangat penting dilakukan. Pasalnya, beda habitat dan beda ketinggian akan berpengaruh pada keragaman jenis capung yang kami dapatkan. Begitu pula kondisi kanopi, apakah terbuka, ataukah tertutup. Beberapa capung bisa ditemukan di tempat terbuka seperti persawahan yang sedang kami lewati, namun kabarnya, ada juga yang menyukai tempat-tempat teduh.
Sesekali dalam perjalanan, Mas Agal –pemandu sekaligus ketua acara ini, memberikan penjelasan menarik tentang morfologi maupun tingkah laku capung yang kami temukan. Seperti saat kami sedang berhenti di aliran air yang agak tenang, lalu aku melihat sepasang capung yang terbang bersamaan.
![]() |
Vestalis luctuosa |
“Apakah
itu tingkah laku mereka akan kawin?”
Katanya, bisa jadi. Biasanya capung jantan akan menandai teritorinya, agar kemudian siap didatangi oleh capung betina dan siap kawin di wilayah kekuasaan si capung jantan. Hmmm menarik, analoginya seperti pejantan yang punya rumah duluan sebelum kawin (eh?).
“Wah,
kok bagus! Baru ini ngelihat capung warna ungu kerlip-kerlip!” seruku.
“Vestalis
luctuosa,” kata Alfi. “Kayaknya sih.”
“Ha?”
Aku melongo, mengagumi teman-temanku yang baru melihat sekilas tapi langsung bisa
tahu jenis apa.
“Coba
deh kamu perhatikan, sayap bagian dalamnya berwarna hijau,” kata Mas Agal.
Aku
agak-agak tidak percaya, sampai kemudian Mas Agal membuat gerakan pelan yang
membuat salah satu capung itu terbang dan bagian dalam sayapnya yang berwarna
hijau itu terlihat jelas.
“Wah iya bener!” seruku lagi. “Maklum ya, belum pernah lihat yang kayak gitu soalnya.”
Tujuan terakhir kami adalah Curug Bajing, sebuah tempat wisata air terjun dimana kami akan me-release atau melepaskan capung-capung yang sudah kami tangkap, nanti usai melakukan identifikasi. Maka kami melingkar di sebuah gazebo dan mendiskusikan enam belas individu capung yang sudah kami dapatkan. Aku mendengarkan teman-temanku berdiskusi tentang jenis capung tersebut. Mereka mencocokkan specimen capung dengan buku identifikasi. Aku sendiri berusaha berkontribusi dengan membantu mendeskripsikan morfologi mulai dari warna mata, warna thorax, warna abdomen, genital, penciri khusus, warna sayap dan warna pterostigma.
Setengah hari di lapangan membuatku memahami bahwa ternyata perbedaan capung jantan dan betina bisa dilihat oleh orang awam sepertiku. Dengan melihat apakah ada tonjolan di bagian bawah thorax dan mengamati anal appendagenya, hari ini aku puas sekali karena aku sudah bisa membedakan capung jantan dan betina. Menurutku membedakan genital ini penting, karena identifikasi capung jantan akan ‘lebih mudah’ dibandingkan identifikasi capung betina. Aku lupa apa alasannya, tapi sepertinya karena capung betina rata-rata memiliki warna yang serupa.
Kami sempat menemukan capung di tempat yang berbeda dengan lokasi pengamatan seharusnya (tempat terbuka dengan aliran air yang deras). Sebelum menjumpai curug bajing, kami melihat kolam kecil dengan tumbuhan teratai di atasnya. Beberapa tumbuhan air dan tumbuhan bawah ada di sekeliling kolam, dan aliran air disana sangat pelan. Disitulah Mas Agal, Roni, dan Jajo excited sekali mendapatkan capung yang tidak kami dapatkan di perjalanan sebelumnya. Menurutku semua capung menarik, karena baru kali ini aku menemukan capung setiap beberapa langkah. Tapi sepertinya capung di tempat ini bisa menjadi temuan paling oke dalam pengamatan kami hari ini.
![]() |
Drepanostica sundana |
Materi
2: Kawasan Hutan Petungkriyono
Ada hal yang menarik melalui materi ini, sebenarnya. Ketika aku menanyakan potensi OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang ada di hutan produksi KPH Pekalongan. Pemateri mengatakan bahwa kutu putih –kutu lilin menjadi masalah utama ketika mereka mengupayakan pertanaman pinus. Hama itu memang bukan barang baru, tapi menariknya, beliau mengatakan penanganan kutu lilin dengan campuran urin kambing dan urin kelinci menjadi sangat efektif untuk pinus-pinus yang terserang di persemaian. Akan tetapi jika sudah terlanjur menyebar, maka tidak ada cara lain selain dimusnahkan. Selain itu, pemateri juga memberikan informasi bahwa keragaman untuk bidang serangga belum pernah diteliti di area Petungkriyono ini, sehingga peluang riset menjadi sangat luas.
Sebenarnya yang paling menarik buatku adalah pemilihan lokasi kawasan hutan lindung Petungkriyono yang digunakan untuk riset capung ini. Kabarnya, saking terjaganya sungai-sungai di hutan ini maka keragaman dan kelimpahan capung pun sangat tinggi. Di kawasan ini pula bisa ditemui capung-capung endemik Jawa --yang tentu saja tidak bisa ditemukan di lokasi lain.
Materi
3: GIS
Aku tidak terlalu paham GIS, tapi materi ini memang penting khususnya untuk pemilihan lokasi sampling. Aku pernah mendapatkan kuliah ini, jadi setidaknya aku punya gambaran sedikit-sedikit. Namun sayangnya pemateri tidak memberikan prolog bagaimana mengaitkan fungsi GIS ini untuk riset khusus capung.
Pentas
Wayang Serangga dan Kesenian Daerah
![]() |
Pentas Wayang Serangga |
Petungkriyono: Catatan Harian Pelatihan Riset Capung Bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS) Hari 1
Kamis, 25 November 2021
Kereta Joglosemar yang membawa kami bertiga dari Yogyakarta, tiba di Stasiun Pekalongan pukul 13.00 WIB tepat. Ternyata, beberapa rombongan dari kota lain sudah lebih dulu tiba dan berkerumun di dekat pintu keluar stasiun. Aku berangkat dengan Waryati –yang ternyata adalah ketua kelompok studi Odonata UNY, dan Dedi Irawan –yang nekat terbang jauh dari Medan, Sumatera Utara untuk mengikuti acara ini.
Tidak sampai setengah jam, panitia yang bertugas menjemput telah siaga di bagian parkiran. Kami dijemput dengan 2 mobil, salah satunya yang kunaiki adalah mobil panther merah dengan stiker gambar capung di belakangnya. Kami melanjutkan perjalanan ke Pasar Doro untuk menemui rombongan yang lainnya sekaligus loading barang ke pick up. Jaraknya lumayan jauh, yaitu sekitar dua jam perjalanan dari Stasiun Pekalongan.
Usai solat Ashar, kami melanjutkan perjalanan kembali ke desa Tlogopakis, Petungkriyono. Ini adalah lokasi dimana kami akan melakukan banyak kegiatan mengenai riset capung. Mas Arif –seorang panitia yang mengantar kami, mengatakan bahwa perjalanan akan memakan waktu 2 jam dengan medan yang menantang. Sepanjang perjalanan, kami terpukau dengan pemandangan di kanan kiri jalan: hutan dengan strata yang bertingkat-tingkat, curug dan parit-parit kecil, kebun karet, hutan pinus, juga tumbuhan pakis yang besar-besar, seolah-olah sedang mengantarkan kami ke bumi antah-berantah. Tidak ada transportasi umum kecuali duplak –mobil pick up yang memuat banyak orang sekaligus ke desa-desa.
![]() |
Basecamp Rimba Rumah Bersama 2021 |
Benar saja, kami baru tiba di basecamp beberapa menit saja sebelum adzan maghrib berkumandang. Basecamp kami adalah sebuah gedung BLK (Balai Latihan Kerja), yang cukup berjarak dari rumah-rumah penduduk yang padat, mungkin sekitar 1 km jauhnya. Kami dipersilakan untuk beristirahat sejenak sebelum nanti malam akan dilaksanakan materi yang pertama, yaitu mengenai identifikasi capung bagian 1.
Materi
1: Identifikasi Capung Bagian Satu
“Iya
jadi kalau yang jantan tuh ada second genitalnya, jadi di bagian sini menonjol.”
“Ini
kan ngga ada epiprocknya, jadi jantan apa betina?”
“Kalau yang Heliogomphus ini jantan apa betina?”
![]() |
Materi identifikasi capung oleh Mas Apen |
Sementara sebagian teman-teman di ruangan riuh menjawab pertanyaan Mas Apen –pemateri, dan mengangguk-angguk paham dengan materi yang disampaikan, malam itu adalah pertama kalinya aku mendengar istilah seperti epiprock, anal appendages, cerci, ocelli, pterostigma, dan sebagainya. Selama ini bagian tubuh serangga pun aku hanya tahu caput, thorax, dan abdomen. Saat itu juga aku tidak yakin akan bisa mengikuti acara ini dengan baik, tapi aku ingat lagi kedatanganku kesini adalah untuk belajar, jadi sedikit-sedikit aku bertanya kepada teman-teman –khususnya teman-teman kelompok satu untuk menjelaskan hal-hal terkait percapungan yang mungkin masih sederhana.
By the way, tadi Mba Raissa mengumumkan bahwa esaiku menjadi esai terbaik menurut panitia. Bisa menulis esai tentang capung bukan berarti aku paham capung. Aku justru semakin tidak percaya diri karena itu. Tapi toh besok,
kami akan melakukan eksplorasi dan sampling capung untuk identifikasi
sederhana. Sehingga kupikir mungkin aku akan bisa lebih paham tentang materi malam ini.
Sunday, February 4, 2024
Terus Belajar
Minggu, 4 Februari 2024
20.49 WIB, Yogyakarta
Judul tersebut adalah salah satu hal penting dari sekian banyak yang aku dapatkan setelah perjalanan dua pekan lalu. Mungkin kamu berpikir, harusnya nggak perlu pergi-pergi juga "terus belajar" adalah slogan yang mesti kita terapkan, kan? Tapi sayangnya itu nggak berlaku buatku.
Sebenarnya, awalnya dari delapan orang yang duduk menanti jamuan makan malam di hari ulang tahunku yang ke-30 kemarin. Salah seorang perempuan yang baru saja bergabung dengan tim kami berkata, "Saya berdoa semoga mbak Arin terus bersemangat untuk belajar, seperti semangatnya yang sudah-sudah--" kira-kira begitu. Sebelumnya, seorang perempuan lain juga berkata, "Aku tuh salut sama kamu mbak, kok kamu bisa sih kan kerjaan udah ada, tapi kuliahnya walaupun enggak menunjang pekerjaan, tetap kamu lakukan dengan serius." Dan kalimat-kalimat lain yang sebenarnya kurasa itu adalah sebuah pujian. Namun, berkali-kali mendengar pun aku mengabaikannya. Lalu kudengar lagi pujian itu di jamuan makan malam, kali ini berupa doa.
Belum cukup dengan hal-hal tersebut, terbanglah aku ke negara seberang. Menyaksikan seorang kawan yang perubahannya membuatku berpikir ratusan kali. Harusnya aku.. Harusnya aku.. Aku kan lebih dulu mulai.. Aku kok enggak sebaik itu ya.. Beberapa malam yang melelahkan karena dialog diriku dengan isi kepalaku sendiri. Gara-gara itu, suaranya makin nyaring. Tangisku makin keras. Aku sudah buang-buang waktu, setelah kutengok lagi ke belakang, aku baru menyadari banyak hal yang aku urus, namun sejatinya bukan untukku. Aku mencintai pekerjaanku, tapi aku tidak belajar di dalamnya. Aku mencintai apa yang aku pelajari, tapi aku gagal mengaktualisasikannya. Aku bekerja dengan banyak orang, namun ternyata aku hanya memenuhi kebutuhan mereka, bukan kebutuhanku. Aku telah mencoret banyak target, sekali lagi, bukan untukku.
Sendirian dan kedinginan di Changi, membuatku semakin tidak bisa tidur. Lalu dalam penerbangan SIN ke YIA, aku memutuskan untuk membuat perbaikan-perbaikan yang benar-benar aku butuhkan tahun ini.
Thursday, January 25, 2024
Merawat Diri
Januari 25, 2024.
Sebelum memulai tulisan kembali, aku ingin menertawakan -sekaligus mengagumi diri sendiri. Hey! Blog ini sudah ada sejak tahun 2008, dan itu artinya aku sudah memiliki halaman ini selama 16 tahun. Tapi lihatlah isinya, kosong saja. Beberapa tahun lalu, aku memutuskan untuk menghapus cerita-cerita yang aku tulis. Lebih karena malu, tepatnya. Sebenarnya tidak apa-apa ya kalau dibiarkan saja, toh begitulah perjalanan kita. Sebentar-sebentar berhenti pada apa yang kita kita sudah paling sempurna, tetapi ternyata bukan yang baik bagi kita.
Sekarang jam berapa eh? Oh, 22.24 WIB. Aku cuma mau bilang, sebelum berangkat ke Malaysia, sebenarnya ada banyak sekali tanda-tanda dari semesta yang membingungkan. Tapi toh aku berangkat juga, ke kota yang bahkan aku tidak pernah dengar namanya sebelumnya: Kuching. Nanti kapan-kapan aku cerita, apa yang aku dapat dari sana. Tapi yang jelas, sepulang dari sana, aku semakin lebih banyak bertanya-tanya. Seperti yang orang-orang bilang: "Kita nggak mungkin bertemu seseorang kalau tidak ada maksudnya, kita nggak mungkin ada di suatu tempat tanpa ada tujuannya" --bahkan di mata kuliah silvikultur, Dr. Priyono bilang bahwa 'Everythings connected, just like a dot.' Dan aku percaya. Tidak seperti pulang dari Jepang dulu sih, aku benar-benar blank dan masih tidak paham kenapa Tuhan memberikanku kesempatan untuk ke Jepang. Beda dengan Malaysia ini --hm, mungkin, meskipun super mendadak, aku mendapat pelajaran karena melakukan segala sesuatunya dengan sadar. Iya?
Eh, nanti sajalah aku ceritakan tentang Malaysia. Yang jelas, sekarang aku sedang mengurai tanda-tanda. Pertama yang kulakukan saat ini adalah merawat diri. Aku benar-benar kehilangan diri entah sudah berapa tahun lamanya. Meskipun bukan sastrawan, tapi aku perlu kembali membaca dan menulis. Aku percaya kemampuan literasiku masih cukup bagus untuk diasah, karena dengan membaca dan menulislah aku bisa berpikir dengan jernih, dan lagi-lagi, merawat diri sendiri. Lain itu? Banyak! Aku punya banyak pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan. Sudah kutulis di to-do list pesan WhatsApp. Akan kutuntaskan dengan segera, sebaik mungkin.
Monday, August 29, 2022
Dealing with Failure
My time is almost over. By this month, I suppose to finish all my research and back to Indonesia. But I am still doing my experiment. It's difficult, I realize. Since the first time I accept this research topic, I am sure I can do it well because I am a good learner and tough enough. But confidence is not enough for research. There are so many unpredictable situations that make me so confused and try to think positively. It is about the animal situation. I can't handle it when our population suddenly decreases in one to two months. I wasted my time and try to identify some of my faunas in that void. Yeah, it is passed, and now I am still trying to find the best situation and result. I don't want to go back without any results from this research. Meanwhile, in Indonesia, my research is also not finished yet. I mean for the thesis writing, journal writing, and the result presentation that will be held in early October. I have to finish it soon.
But by the way, this situation also makes me think clearly. That not every researcher should succeed in every experiment. Sometimes we have to face failure and keep trying again and again. Of course, it will cost time and money, and so much energy. But that's the research was going. A significant or not significant result is okay in any publications. So, now I am trying to accept every failure and mistakes that I made, and keep improving myself, not only for myself or my future, but I also think that this research is important to all people included.
Tuesday, November 30, 2021
Hari Terakhir di Petungkriyono: Catatan Harian Pelatihan Riset Capung Bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS)
Sabtu-Minggu, 27-28 November 2021
![]() |
Mencari capung di Telaga Sigebiyar (Foto oleh panitia) |
Hari ini kami melakukan sampling capung lagi, di lokasi yang berbeda dengan kemarin, secara ketinggian. Kelompokku mendapatkan jatah VIP, yaitu lokasi di Telaga Mangunan, dengan ketinggian sekitar 1600an mdpl. Fyi, BLK tempat kami menginap ada di ketinggian 600 mdpl. Sementara itu, dua kelompok yang lainnya mendapatkan jatah ke lokasi yang lebih rendah dari BLK, yaitu menyusur hutan dan sungai.
Dengan mengendarai mobil panther merah yang lagi-lagi dibawa oleh Mas Arif, kami tiba di Telaga Mangunan (tertulis Telaga Sigebiyar) sekitar pukul delapan. Kami diberi waktu sarapan dengan nasi bungkus yang telah dibekalkan, kemudian melakukan pengamatan selama satu setengah jam. Pukul 10, kami akan berpindah tempat ke rawa-rawa yang sebelumnya sudah kami lewati.
![]() |
Ischnura aurora |
Kami melihat banyak sekali capung jarum. Dalam beberapa langkah saja, sudah lima capung kami temui. Namun tidak semuanya kami ambil, karena sepertinya mereka memiliki kesamaan jenis. Setengah perjalanan, kami baru menemukan capung sejati (Anisoptera) yang terbang demikian cepat seperti pesawat tempur. Beruntung, Roni dan Jajo sigap sekali menceburkan kaki mereka ke rawa-rawa sehingga kami mendapatkan specimen tersebut. Aku berdoa-doa supaya mendapatkan naiad disini –karena sebelumnya aku belum pernah melihat wujud aslinya.
Selang beberapa menit, aku menunduk ke rerumputan bawah untuk melihat-lihat serangga yang kebetulan hinggap disana. Sampai mataku menatap serangga yang kukira kepik coklat, namun ternyata adalah naiad dengan bentuk yang sama sekali berbeda dengan yang kami temukan sebelumnya.
![]() |
Eksuvia (kemungkinan) dari Famili Corduliidae |
![]() |
Eksuvia (kemungkinan) dari Famili Aeshnidae |
Entah beruntung atau tidak, tapi usai pengamatan di telaga, hujan turun sangat deras sehingga pengamatan di rawa kami urungkan. Kami lantas bergegas mengidentifikasi capung-capung yang kami temukan –keseluruhan hanya 3 spesies saja, namun yang menarik adalah kami menemukan 2 naiad, dan 1 capung majemuk yang cacat. Kata Mas Agal, metamorfosisnya tidak sempurna sehingga sayapnya menekuk dan tidak bisa terbang. Hal itu mungkin disebabkan oleh adanya parasit atau jamur yang menyerang capung sebelum dewasa.
![]() |
Metamorfosis tidak sempurna Procordulia artemis |
Materi:
Fotografi Capung
Materi ini disampaikan dengan apik oleh Pak Sigit, founder IDS yang sangat passionate dengan capung sejak tahun 2009. Memang ada kekhawatiran –seperti yang kutanyakan, tentang bagaimana membedakan foto ilmiah dengan foto manipulatif. Btw, aku baru menyadari bahwa foto-foto manipulatif itu cukup berbahaya jika kita tidak tahu tingkah laku serangga sebenarnya. Beberapa tips untuk memotret capung juga disampaikan agar sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan memudahkan proses identifikasi.
![]() |
Pak Sigit, founder IDS |
Materi:
Identifikasi Capung Lanjutan
Materi ini kembali disampaikan oleh mas Apen, tentang bagaimana upaya para peneliti capung untuk memberikan nama-nama lokal pada capung yang ditemui. Aku tidak pernah kepikiran sebelumnya, tapi menarik juga. Seperti misalnya spesies capung Ictinogomphus acutus diberi usulan nama lokal “Gadatombak gelambir-lebar” dan sebagainya.
Materi:
Penelitian dan Literasi Capung
Seharusnya, aku mendapatkan materi seperti ini sebelum memulai penelitian S1! Ya kan? Mbak Amel benar sekali, bahwa riset harus dimulai dengan cara “meriset tren riset” dari jurnal-jurnal terkait. Hal ini perlu sekali dilakukan, tentu saja agar tema riset yang kita usung ada nilai kebaruannya, juga lebih mudah dipublikasi ._. ya kan.
Materi:
Sharing Hasil
Oke, sampailah kita pada sharing hasil pengamatan selama 2 hari ini. Ada beberapa aspek yang harus dipresentasikan yaitu deskripsi morfologi, kaitan capung dengan habitat yang diamati, dan 'key species' --tapi Mbak Amel lebih suka menyebutnya sebagai 'flag species' pada masing-masing habitat. Dari keseluruhan capung yang telah ditemukan, salah satu capung yang paling menarik adalah Drepanostica sundana yang tidak ditemui di tempat lain.
![]() |
Kelompok terbaik yeyeye :) |
![]() |
Hadiah dari panitia (plus Ndoro pisang-nya Mas Adin yang keburu habis sebelum kefoto) |
Petungkriyono, Rumah para Capung Endemik Jawa: Catatan Harian Pelatihan Riset Capung Bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS) Hari 2
Jumat, 26 November 2021
![]() |
Foto bersama kelompok 1 dan 3 sebelum berangkat ke lapangan |
Pagi ini, kami sudah berbaris rapi di depan BLK dengan pakaian lapangan dan perlengkapan sampling capung: masing-masing kelompok dibekali dengan 3 buah jaring, 4 buku identifikasi capung, sebuah box plastik mirip kotak makan, dan beberapa lembar kertas papilot –kertas ini yang akan kami gunakan untuk menyimpan tiap-tiap individu capung.
Kami berjalan dari BLK menuju ke arah rumah Mas Tariyo –a.k.a Taryo a.k.a Tarzo, panitia lokal yang banyak membantu kesuksesan acara ini, kemudian membelok mengikuti aliran parit kecil yang ternyata berasal dari aliran sungai yang cukup deras. Kami melewati persawahan, juga deretan tanaman jagung dan ketela.
“Itu
Orthretum!” sahut seseorang.
![]() |
Orthretum pruinosum |
Orang-orang di kelompokku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk, dan dalam sekali ayun, Roni menangkap capung yang dimaksud. Capung Orthretum yang dimaksud sedang bertengger di atas batang ketela, di tepi aliran air yang deras.
“Bagi
tugas ya, yang bawa jaring nangkep, yang bawa kamera nyari sambil motret, terus--”
“Aku
nyatet,” kataku. Berinisiatif, karena tidak tahu lagi apa yang harus aku
lakukan.
“Ya, oke.”
Dalam pengamatan capung, pencatatan habitat dan juga ketinggian sangat penting dilakukan. Pasalnya, beda habitat dan beda ketinggian akan berpengaruh pada keragaman jenis capung yang kami dapatkan. Begitu pula kondisi kanopi, apakah terbuka, ataukah tertutup. Beberapa capung bisa ditemukan di tempat terbuka seperti persawahan yang sedang kami lewati, namun kabarnya, ada juga yang menyukai tempat-tempat teduh.
Sesekali dalam perjalanan, Mas Agal –pemandu sekaligus ketua acara ini, memberikan penjelasan menarik tentang morfologi maupun tingkah laku capung yang kami temukan. Seperti saat kami sedang berhenti di aliran air yang agak tenang, lalu aku melihat sepasang capung yang terbang bersamaan.
![]() |
Vestalis luctuosa |
“Apakah
itu tingkah laku mereka akan kawin?”
Katanya, bisa jadi. Biasanya capung jantan akan menandai teritorinya, agar kemudian siap didatangi oleh capung betina dan siap kawin di wilayah kekuasaan si capung jantan. Hmmm menarik, analoginya seperti pejantan yang punya rumah duluan sebelum kawin (eh?).
“Wah,
kok bagus! Baru ini ngelihat capung warna ungu kerlip-kerlip!” seruku.
“Vestalis
luctuosa,” kata Alfi. “Kayaknya sih.”
“Ha?”
Aku melongo, mengagumi teman-temanku yang baru melihat sekilas tapi langsung bisa
tahu jenis apa.
“Coba
deh kamu perhatikan, sayap bagian dalamnya berwarna hijau,” kata Mas Agal.
Aku
agak-agak tidak percaya, sampai kemudian Mas Agal membuat gerakan pelan yang
membuat salah satu capung itu terbang dan bagian dalam sayapnya yang berwarna
hijau itu terlihat jelas.
“Wah iya bener!” seruku lagi. “Maklum ya, belum pernah lihat yang kayak gitu soalnya.”
Tujuan terakhir kami adalah Curug Bajing, sebuah tempat wisata air terjun dimana kami akan me-release atau melepaskan capung-capung yang sudah kami tangkap, nanti usai melakukan identifikasi. Maka kami melingkar di sebuah gazebo dan mendiskusikan enam belas individu capung yang sudah kami dapatkan. Aku mendengarkan teman-temanku berdiskusi tentang jenis capung tersebut. Mereka mencocokkan specimen capung dengan buku identifikasi. Aku sendiri berusaha berkontribusi dengan membantu mendeskripsikan morfologi mulai dari warna mata, warna thorax, warna abdomen, genital, penciri khusus, warna sayap dan warna pterostigma.
Setengah hari di lapangan membuatku memahami bahwa ternyata perbedaan capung jantan dan betina bisa dilihat oleh orang awam sepertiku. Dengan melihat apakah ada tonjolan di bagian bawah thorax dan mengamati anal appendagenya, hari ini aku puas sekali karena aku sudah bisa membedakan capung jantan dan betina. Menurutku membedakan genital ini penting, karena identifikasi capung jantan akan ‘lebih mudah’ dibandingkan identifikasi capung betina. Aku lupa apa alasannya, tapi sepertinya karena capung betina rata-rata memiliki warna yang serupa.
Kami sempat menemukan capung di tempat yang berbeda dengan lokasi pengamatan seharusnya (tempat terbuka dengan aliran air yang deras). Sebelum menjumpai curug bajing, kami melihat kolam kecil dengan tumbuhan teratai di atasnya. Beberapa tumbuhan air dan tumbuhan bawah ada di sekeliling kolam, dan aliran air disana sangat pelan. Disitulah Mas Agal, Roni, dan Jajo excited sekali mendapatkan capung yang tidak kami dapatkan di perjalanan sebelumnya. Menurutku semua capung menarik, karena baru kali ini aku menemukan capung setiap beberapa langkah. Tapi sepertinya capung di tempat ini bisa menjadi temuan paling oke dalam pengamatan kami hari ini.
![]() |
Drepanostica sundana |
Materi
2: Kawasan Hutan Petungkriyono
Ada hal yang menarik melalui materi ini, sebenarnya. Ketika aku menanyakan potensi OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang ada di hutan produksi KPH Pekalongan. Pemateri mengatakan bahwa kutu putih –kutu lilin menjadi masalah utama ketika mereka mengupayakan pertanaman pinus. Hama itu memang bukan barang baru, tapi menariknya, beliau mengatakan penanganan kutu lilin dengan campuran urin kambing dan urin kelinci menjadi sangat efektif untuk pinus-pinus yang terserang di persemaian. Akan tetapi jika sudah terlanjur menyebar, maka tidak ada cara lain selain dimusnahkan. Selain itu, pemateri juga memberikan informasi bahwa keragaman untuk bidang serangga belum pernah diteliti di area Petungkriyono ini, sehingga peluang riset menjadi sangat luas.
Sebenarnya yang paling menarik buatku adalah pemilihan lokasi kawasan hutan lindung Petungkriyono yang digunakan untuk riset capung ini. Kabarnya, saking terjaganya sungai-sungai di hutan ini maka keragaman dan kelimpahan capung pun sangat tinggi. Di kawasan ini pula bisa ditemui capung-capung endemik Jawa --yang tentu saja tidak bisa ditemukan di lokasi lain.
Materi
3: GIS
Aku tidak terlalu paham GIS, tapi materi ini memang penting khususnya untuk pemilihan lokasi sampling. Aku pernah mendapatkan kuliah ini, jadi setidaknya aku punya gambaran sedikit-sedikit. Namun sayangnya pemateri tidak memberikan prolog bagaimana mengaitkan fungsi GIS ini untuk riset khusus capung.
Pentas
Wayang Serangga dan Kesenian Daerah
![]() |
Pentas Wayang Serangga |
Petungkriyono: Catatan Harian Pelatihan Riset Capung Bersama Indonesia Dragonfly Society (IDS) Hari 1
Kamis, 25 November 2021
Kereta Joglosemar yang membawa kami bertiga dari Yogyakarta, tiba di Stasiun Pekalongan pukul 13.00 WIB tepat. Ternyata, beberapa rombongan dari kota lain sudah lebih dulu tiba dan berkerumun di dekat pintu keluar stasiun. Aku berangkat dengan Waryati –yang ternyata adalah ketua kelompok studi Odonata UNY, dan Dedi Irawan –yang nekat terbang jauh dari Medan, Sumatera Utara untuk mengikuti acara ini.
Tidak sampai setengah jam, panitia yang bertugas menjemput telah siaga di bagian parkiran. Kami dijemput dengan 2 mobil, salah satunya yang kunaiki adalah mobil panther merah dengan stiker gambar capung di belakangnya. Kami melanjutkan perjalanan ke Pasar Doro untuk menemui rombongan yang lainnya sekaligus loading barang ke pick up. Jaraknya lumayan jauh, yaitu sekitar dua jam perjalanan dari Stasiun Pekalongan.
Usai solat Ashar, kami melanjutkan perjalanan kembali ke desa Tlogopakis, Petungkriyono. Ini adalah lokasi dimana kami akan melakukan banyak kegiatan mengenai riset capung. Mas Arif –seorang panitia yang mengantar kami, mengatakan bahwa perjalanan akan memakan waktu 2 jam dengan medan yang menantang. Sepanjang perjalanan, kami terpukau dengan pemandangan di kanan kiri jalan: hutan dengan strata yang bertingkat-tingkat, curug dan parit-parit kecil, kebun karet, hutan pinus, juga tumbuhan pakis yang besar-besar, seolah-olah sedang mengantarkan kami ke bumi antah-berantah. Tidak ada transportasi umum kecuali duplak –mobil pick up yang memuat banyak orang sekaligus ke desa-desa.
![]() |
Basecamp Rimba Rumah Bersama 2021 |
Benar saja, kami baru tiba di basecamp beberapa menit saja sebelum adzan maghrib berkumandang. Basecamp kami adalah sebuah gedung BLK (Balai Latihan Kerja), yang cukup berjarak dari rumah-rumah penduduk yang padat, mungkin sekitar 1 km jauhnya. Kami dipersilakan untuk beristirahat sejenak sebelum nanti malam akan dilaksanakan materi yang pertama, yaitu mengenai identifikasi capung bagian 1.
Materi
1: Identifikasi Capung Bagian Satu
“Iya
jadi kalau yang jantan tuh ada second genitalnya, jadi di bagian sini menonjol.”
“Ini
kan ngga ada epiprocknya, jadi jantan apa betina?”
“Kalau yang Heliogomphus ini jantan apa betina?”
![]() |
Materi identifikasi capung oleh Mas Apen |
Sementara sebagian teman-teman di ruangan riuh menjawab pertanyaan Mas Apen –pemateri, dan mengangguk-angguk paham dengan materi yang disampaikan, malam itu adalah pertama kalinya aku mendengar istilah seperti epiprock, anal appendages, cerci, ocelli, pterostigma, dan sebagainya. Selama ini bagian tubuh serangga pun aku hanya tahu caput, thorax, dan abdomen. Saat itu juga aku tidak yakin akan bisa mengikuti acara ini dengan baik, tapi aku ingat lagi kedatanganku kesini adalah untuk belajar, jadi sedikit-sedikit aku bertanya kepada teman-teman –khususnya teman-teman kelompok satu untuk menjelaskan hal-hal terkait percapungan yang mungkin masih sederhana.
By the way, tadi Mba Raissa mengumumkan bahwa esaiku menjadi esai terbaik menurut panitia. Bisa menulis esai tentang capung bukan berarti aku paham capung. Aku justru semakin tidak percaya diri karena itu. Tapi toh besok,
kami akan melakukan eksplorasi dan sampling capung untuk identifikasi
sederhana. Sehingga kupikir mungkin aku akan bisa lebih paham tentang materi malam ini.
Search This Blog
Blog Archive
Labels
PROFIL

Arina Damayanti